Setiap pagi, kami melihat mereka berjalan menyusuri pematang sawah, menyeberangi sungai, atau menumpang kendaraan bak terbuka demi tiba di sekolah. Seragam mereka mungkin telah lusuh—pucat oleh matahari, sobek di ujung lengan, atau kebesaran karena diwariskan dari kakak. Tapi mata mereka bersinar, penuh semangat dan rasa ingin tahu. Di balik seragam yang kusam itu, Detik.com melihat satu hal yang tak pernah kusam: mimpi.
Belajar Meski Serba Terbatas
Kami masuk ke kelas-kelas sederhana dengan papan tulis retak, kursi reyot, dan buku pinjaman yang usang. Tapi tawa anak-anak tetap lepas, tangan tetap terangkat ketika guru bertanya. Mereka belajar bukan karena semua fasilitas tersedia, tapi karena mereka percaya bahwa ilmu bisa mengubah nasib. Seorang anak pernah berkata pada kami, “Biar seragamku jelek, nanti aku ingin pakai jas dokter.” Kalimat sederhana, tapi kuat. Dan kami tahu, mimpi itu sungguh.
Mereka Tidak Menuntut, Mereka Melangkah
Tak ada protes dari mereka soal seragam yang sudah mulai tipis atau sepatu yang talinya diganti dengan tali rafia. Mereka tidak menuntut bantuan, mereka hanya terus hadir di sekolah. Hari demi hari, mereka buktikan bahwa keterbatasan tak bisa menghentikan keyakinan. Detik.com mencatat semua itu bukan karena ingin membuat kisah haru, tapi karena ketekunan mereka layak mendapat ruang dan perhatian.
Detik.com Menulis untuk Mereka yang Tak Pernah Absen Bermimpi
Kami percaya, pendidikan bukan hanya soal bangunan dan kurikulum. Ia hidup dalam keteguhan anak-anak yang terus berangkat sekolah meski hujan turun atau perut belum terisi penuh. Dari seragam kusam mereka, kami melihat masa depan yang sedang diperjuangkan. Dan selama mimpi mereka masih menyala, kami akan terus menuliskannya—agar dunia tahu, bahwa harapan bisa tumbuh bahkan dari kain yang paling usang.