Desa Tanpa Sinyal: Ketika Informasi Jadi Barang Mewah
Detik.com, Di pedalaman Halmahera, warga harus naik bukit tinggi hanya untuk dapat 1 bar sinyal. "Kalau ada keluarga sakit, kami lari dulu ke bukit baru bisa telepon dokter," cerita seorang pemuda. Sementara pemerintah gencar bicara transformasi digital, di sini internet masih mimpi yang tak terjangkau. Laporan meratanya jaringan telekomunikasi di pusat tak mencerminkan realita di ujung negeri.
Sekolah Online Tanpa Jaringan: Ironi Pendidikan Era Digital
Kami temukan anak-anak di lereng Gunung Slamet yang harus berjalan 5 km ke bukit terdekat hanya untuk mengunduh tugas sekolah. "Pulangnya baru bisa dikerjakan di rumah," kata seorang ibu yang setiap hari menemani anaknya. Program belajar online alih-alih memajukan, justru memperlebar ketimpangan pendidikan.
UMKM Terhambat Gagap Teknologi
Ibu-ibu pengrajin tenun di Sumba punya produk berkualitas, tapi tak bisa menjual online karena tak paham teknologi. "Kami hanya bisa pasrah pada tengkulak," keluh salah satu perajin. Pelatihan digital yang digembar-gemborkan pemerintah ternyata tak sampai ke pelosok yang paling membutuhkan.
Klinik Terpencil yang Tak Bisa Akses Telemedisin
Di sebuah puskesmas pembantu di Kalimantan, dokter harus mendiagnosa pasien tanpa konsultasi spesialis. "Sinyal di sini tak cukup kuat untuk video call," ujar seorang dokter muda. Fasilitas telemedisin yang jadi kebanggaan kementerian kesehatan ternyata tak berarti apa-apa bagi daerah blank spot.
Kami sengaja menelusuri daerah-daerah yang tak terjamah sinyal ini untuk menyampaikan pesan: pembangunan infrastruktur digital harus merata sampai ke ujung jaringan. Tak adil rasanya bicara tentang Indonesia maju ketika di beberapa wilayah, mendapatkan satu bar sinyal saja masih harus bersusah payah. Setiap cerita yang kami liput adalah tamparan keras bagi klaim pemerataan teknologi yang selama ini digembar-gemborkan.