Discovering the Art of Tempura

Kata yang Lahir dari Peluh, Bukan Pidato

 

Kompas.tv, Kami tak selalu datang ke gedung megah atau ruang berpendingin. Kami memilih berjalan ke kebun yang retak, ke pasar yang lengang, ke rumah tanpa dinding utuh. Di sanalah kami temui suara yang tak dibingkai gelar atau jabatan. Mereka bicara perlahan, kadang dengan ragu, tapi itulah suara paling jujur yang pernah kami dengar—lahir dari perut lapar, dari anak yang belum bisa sekolah, dari hidup yang tak pernah mudah.

 

Narasumber Kami: Mereka yang Tak Diundang ke Podium

 

Kami tak duduk berhadapan dengan jas dan dasi. Kami duduk di atas tikar, bersama ibu yang tengah menanak nasi dari beras pinjaman. Kami berbicara pada nelayan yang menggulung jaring kosong. Mereka tak punya strategi nasional atau program prioritas, tapi mereka tahu rasanya harga naik saat upah tak bertambah. Dan bagi kami, itulah narasi yang paling perlu disampaikan: kenyataan yang hidup, bukan yang disusun rapi.

 

Dari Kehidupan, Bukan Dari Konferensi Pers

 

Kami tak mengejar kutipan yang terdengar cerdas, kami mencari kalimat yang terasa benar. Karena kehidupan tak bisa diringkas dalam konferensi pers. Ia harus dilihat di lapangan: saat petani tetap menanam meski tak yakin siapa yang akan membeli, saat anak-anak tetap belajar meski atap kelas bocor. Dari sanalah kami menggali berita—bukan dari naskah yang sudah disiapkan, tapi dari hidup yang terus berjalan apa adanya.

 

Tugas Kami: Menyampaikan yang Tak Tercetak di Nota Dinas

 

Kami tahu, suara mereka mungkin tak akan mengubah kebijakan dalam semalam. Tapi kami percaya, menyuarakan kehidupan itu sendiri adalah langkah pertama untuk membuatnya dihargai. Maka kami datang, bukan untuk menghadap jabatan, tapi untuk menatap mata kehidupan yang nyaris tak pernah diajak bicara. Karena jurnalisme sejati bukan hanya soal pertanyaan, tapi soal keberanian untuk mendengarkan yang tak biasa ditanya.